STIGMATA SANTO FRANSISKUSTIGMATA SANTO FRANSISKUS DARI ASSISI 

Catatan awal: Hari ini, tanggal 17 September, anggota keluarga Fransiskan merayakan “Pesta Stigmata Bapak kita Fransiskus”. Berikut ini dipaparkan jalan cerita peristiwa “stigmata” itu untuk kita baca dan renungkan. 

Sdr. Leo menceritakan kepada kita bahwa Fransiskus telah memilih periode dari 15 Agustus sampai 29 September 1224 untuk sebuah retret “guna menghormati Allah, Santa Perawan Maria, ibu-Nya, dan Santo Mikael, pangeran para malaikat dan jiwa-jiwa. Fransiskus mempraktekkan devosi istimewa kepada dua orang kudus ini. Pada waktu itu Fransiskus berumur 42 tahun, dua tahun sebelum kematiannya. Kondisi fisiknya jauh dari baik. Suatu penyakit mata yang sangat mengganggu serta menyakitkan secara serius membuatnya sulit dalam hal membaca dlsb. Namun pada waktu itu dia juga dibuat lebih menderita lagi oleh perbedaan-perbedaan pendapat antara para saudara tentang ‘cara hidup’ dari ordo. Apakah cara hidup yang dihayatinya selama ini, yaitu cara yang diwahyukan oleh Allah sendiri kepadanya, sungguh-sungguh merupakan cara yang Allah inginkan? Apakah fondasi dari ordo Fransiskan tidak cukup kokoh? Satu pertanyaan lagi yang mengganggunya adalah berkenan dengan masa depannya sendiri. Apakah dia akan melanjutkan perjalanan-perjalanan keliling ‘dunia’ dan mewartakan Injil kepada orang-orang atau haruskah ia mencari sebuah tempat yang hening-tenang dan mengabdikan dirinya dalam suatu hidup doa? Ini adalah serentetan pertanyaan yang bergejolak dalam hati dan pikirannya, pada waktu dia menarik diri ke Gunung (Bukit) La Verna untuk mencari kehendak Allah. Ia tinggal sendiri dalam pondoknya yang tidak jauh letaknya dari pondok para saudara di gunung itu. Setiap hari Saudara Leo membawakan dia sekadar makanan untuk dimakan. Tetapi agar tidak mengejutkannya, Saudara Leo harus berseru: Domine, labia mea aperies” (Tuhan, bukalah bibirku). Pengaturan sedemikian memampukan Fransiskus untuk berdoa tanpa terganggu. 

Pada suatu malam dalam bulan September, beberapa hari menjelang Pesta Salib Suci, Sdr. Leo berangkat pada waktu yang biasa untuk berdoa matin (sekarang Ibadat Bacaan) bersama Fransiskus. Ketika dia berseru, “Domine, labia mea aperies” dari ujung jembatan, Fransiskus tidak menjawab. Sdr. Leo tidak kembali seperti yang diperintahkan oleh Fransiskus, namun dengan niat yang baik dan suci, dia menyeberangi jembatan dan perlahan-lahan memasuki pondok Fransiskus. Ia tidak menjumpai dia di sana. Ia mengira bahwa Fransiskus telah pergi ke suatu tempat lain di hutan untuk berdoa. Oleh karena itu ia keluar dan dalam cahaya bulan ia dengan diam-diam mencarinya di hutan. Dilihatnya Fransiskus sedang berlutut, wajah dan tangannya tertengadah ke langit, dan berseru dengan semangat bernyala-nyla, “Siapakah Engkau, Tuhan Allah yang amat manis?” Ia terus mengulangi kata-kata itu tanpa mengatakan lainnya. 

Dengan penuh rasa heran Sdr. Leo menengadahkan mata dan melihat sebuah obor api yang indah bercahaya, turun dari langit dan hinggap di atas kepala Fransiskus. Dari dalam nyala api ini ia mendengar suara berbicara kepada Fransiskus, namun Sdr. Leo tdak dapat memahami kata-kata itu. Ketika melihat hal itu, ia merasa dirinya tak pantas tinggal di dekat tempat suci itu, di mana hal ajaib itu sedang terjadi. Ia kuatir jangan-jangan ia menyakiti hati Fransiskus karena memutus pengalaman rohaniah ini bila diketahui. Maka dengan diam-diam Sdr. Leo mundur dan tinggal agak jauh sambil menantikan akhir peristiwa itu. Ia memperhatikan dengan teliti dan melihat Fransiskus tiga kali merentangkan tangannya ke dalam nyala itu. Akhirnya, selang waktu yang lama, ia melihat nyala itu kembali ke langit. 

Sdr. Leo mundur dan pergi, puas dan bahagia karena penglihatan itu, dan hendak kembali ke pondoknya. Akan tetapi selagi dia berjalan pergi penuh keyakinan, Fransiskus mendengar dia karena gemersik dedaunan yang diinjaknya. Ia menyuruh dia berhenti dan tidak boleh bergerak. Sdr. Leo dengan penuh ketaatan berhenti dan menanti dengan rasa takut. Kepada para sahabatnya. Sdr. Leo kemudian bercerita bahwa saat itu rasanya lebih baik bumi terbelah dan menelannya daripada menantikan Fransiskus, karena dia takut akan membuat Fransiskus menjadi gusar. Karena dia selalu berhati-hati agar tidak menyakiti hati bapaknya, jangan-jangan oleh kesalahannya Fransiskus akan menolaknya sebagai sahabat. 

Fransiskus mendekatinya dan bertanya, “Siapakah engkau?” Dengan gemetar Sdr. Leo menjawab, “Saya Leo, Bapakku.” Fransiskus berkata kepadasnya, “Mengapa engkau datang kemari, domba kecil? Bukankah telah kukatakan jangan datang memperhatikan aku? Katakanlah kepadaku, demi ketaatan yang suci, apakah engkau sudah mendengar  atau melihat sesuatu?” 

Sdr. Leo menjawab, “Bapak, saya mendengar Bapak berkata berulang-ulang, ‘Siapakah Engkau Allah termanis? Dan siapakah aku, seekor cacing yang malang, hamba-Mu yang tidak berharga?” Lalu sambil berlutut di depan Fransiskus, Sdr. Leo mendakwa dirinya karena dosa ketidaktaatan yang telah dilakukannya. Ia mohon ampun sambil mencucurkan air mata dan sesudah itu dengan sangat ia mohon kepada Fransiskus agar menjelaskan kata-kata yang tidak dipahaminya itu. 

Fransiskus yakin bahwa Allah telah mengizinkan Sdr. Leo yang rendah hati itu untuk melihat beberapa hal karena kesederhanaan dan kemurniannya. Maka dia bersedia mengungkapkan dan menjelaskan kepada Sdr. Leo apa yang dimintanya. Ia berkata kepadanya, “Anak domba kecil dari Yesus Kristus, pahamlah bahwa ketika aku mengulang-ulang kata-kata itu, yang engkau dengarkan, dua terang-cahaya diperlihatkan kepadaku di dalam jiwaku, yaitu pengetahuan dan pemahaman akan Pencipta,  dan yang lain adalah pengetahuan akan diriku sendiri. Ketika aku berkata, ‘Siapakah Engkau, Allahku yang amat manis?’, aku berada dalam terang-cahaya kontemplasi. Di dalamnya aku melihat kedalaman yang tak terhingga dari kebaikan, hikmat dan kuasa Allah yang tak terhingga. Ketika aku berkata, ‘Siapakah aku?’, aku berada dalam terang-cahaya kontemplasi, di dalamnya aku melihat kedukaan terdalam akan kemalangan serta kesusahan sendiri. Karena itu aku berkata, ‘Siapakah Engkau, Tuhan kebaikan yang tak terhingga, Tuhan hikmat-kebijaksanaan dan kuasa, yang rela mengunjungi daku, seekor cacing yang hina-dina?’ Allah berada di depan nyala yang engkau lihat dan Ia berbicara kepadaku seperti dahulu Ia bicara kepada Musa. Dari hal-hal yang dikatakan-Nya kepadaku, antara lain Ia meminta kepadaku untuk mempersembahkan tiga hal (pemberian). ‘Aku adalah milik-Mu seluruhnya’, jawabku. ‘Engkau tahu bahwa aku tidak mempunyai apa pun selain jubah, tali pinggang dan pakaian dalam, dan ketiga hal ini pun milik-Mu. Apakah yang dapat kupersembahkan pada kebesaran-Mu?’ Lalu Allah berkata, ‘Carilah di dalam dadamu dan persembahkanlah kepada-Ku apa yang kaudapati di sana.’ Aku mencari dan menemukan sebuah bola emas dan ini kupersembahkan kepada Allah. Aku melakukan hal ini tiga kali, seperti diperintahkan Allah kepadaku. Lalu aku berlutut tiga kali dan memuliakan serta bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kepadaku sesuatu untuk dipersembahkan. Langsung aku diberi pengertian bahwa ketiga persembahan ini mewakili ketaatan yang suci, kemiskinan yang paling luhur dan cintakasih yang gemilang. Hal-hal ini oleh rahmat-Nya telah dikaruniakan Allah kepadaku agar aku menaatinya dengan sempurna sehingga suara hatiku tidak mempersalahkanku. Seperti engkau lihat, aku memasukkan tangan ke dada dan mempersembahkan kepada Allah ketiga keutamaan ini, yang diwakili oleh tiga bola emas, yang ditaruh Allah di dalam dadaku. Demikian juga Allah telah menempatkan dalam jiwaku keutamaan ini agar aku senantiasa memuji dan memuliakan Dia untuk segala hal-hal baik dan rahmat yang diberikan-Nya kepadaku karena kebaikan-Nya yang suci. Kata-kata inilah yang kaudengar ketika engkau melihat aku mengangkat tanganku tiga kali. Hati-hatilah Sdr. Leo, domba kecil, engkau tidak boleh terus mengawasiku. Kembalilah ke pondokmu dengan berkat Allah, dan jagalah aku karena dalam beberapa hari lagi Allah akan melakukan hal-hal yang agung dan menakjubkan di atas gunung ini, dan seluruh dunia akan kagum karenanya. Karena Ia akan mengerjakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dikerjakan-Nya pada suatu makhluk pun di bumi ini.” 

Setelah mengucapkan kata-kata ini, Fransiskus menyuruh membawakan kitab Injil karena Allah telah mengilhamkan dalam jiwanya bahwa dengan membuka kitab Injil tiga kali akan diperlihatkan apa yang kiranya berkenan pada Allah untuk dikerjakannya. Setelah kitab itu dibawa kepadanya, Fransiskus berlutut dan berdoa. Kemudian ia membuka kitab itu tiga kali dengan tangan Sdr. Leo dalam nama Trinitas Mahakudus. Menurut penyelenggaraan ilahi, maka pada setiap kesempatan, sengsara Kristus tampak. Dengan cara ini ia diberi pengertian bahwa sebagaimana ia telah mengikuti Kristus dalam tindakan-tindakan kehidupannya, begitupun ia harus mengikuti dan diserupakan dengan Dia dalam derita dan kesakitan sengsara-Nya, sebelum ia meninggalkan kehidupan ini. Sejak saat itu Fransiskus mulai mengalami dan semakin lebih merasakan kemanisan kontemplasi ilahi dan kunjungan-kunjungan ilahi. Dalam salah satunya dia dipersiapkan untuk menerima stigmata. 

Satu hari sebelum “Pesta Salib Suci” dalam bulan September, ketika Fransiskus sedang berdoa sendiri dalam pondoknya, seorang malaikat Allah menampakkan diri kepadanya atas nama Allah. Malaikat itu berkata: “Aku datang untuk menghibur dan memberitahukan agar engkau mempersiapkan diri, mengatur dirimu dengan rendah hati dan sabar untuk menerima hal yang akan dilaksanakan Allah di dalam dirimu.” Fransiskus menjawab, “Aku siap menanggung dengan sabar segala sesuatu yang hendak dikerjakan Tuhan terhadapku. Setelah itu malaikat itupun pergi. 

Keesokan harinya, pada hari Pesta Salib Suci, sebelum fajar, Fransiskus berlutut dan mulai berdoa pada pintu masuk ke pondoknya. Ia memalingkan muka ke arah timur dan mengucapkan doa ini, “Tuhanku Yesus Kristus, kumohon kepada-Mu karuniakanlah dua anugerah sebelum aku meninggal. Yang pertama ialah agar Kauizinkan aku untuk merasakan dalam hatiku sebanyak mungkin penderitaan hebat yang Engkau, Yesus Yang Manis, telah rasakan pada saat sengsara-Mu yang amat pahit itu. Yang kedua ialah agar aku  boleh merasakan dalam hatiku sebanyak mungkin cinta yang tak terbatas, dengan mana Engkau, Putera Allah, tergerak dan mau menanggung swengsara sedemikian itu bagi kami para pendosa.” Lama Fransiskus berdoa, dan ia mengetahui bahwa Allah akan mengabulkan doanya, dan bahwa sebanyak yang mungkin bagi seorang makhluk, Allah akan mengizinkannya mengalami hal-hal seperti yang dimintanya. 

Setelah Fransiskus menerima jaminan ini, ia mulai merenungkan sengsara Kristus dan cintakasih-Nya yang tak terbatas dengan kebaktian besar. Semangatnya menjadi begitu kuat di dalam dirinya sehingga seluruh dirinya menjelma ke dalam Yesus karena cintakasih dan  belaskasihan. Pada pagi yang sama ini, sementara dia begitu dikobarkan oleh kontemplasi ini, dia melihatg serafim dengan enam sayap yang bercahaya serta berapi-api turun dari langit. Serafim ini mendekati Fransiskus dengan kecepatan terbang yang amat cepat sehingga dia tidak dapat melihatnya dengan jelas, dan mengetahui bahwa ia berbentuk seorang manusia yang tersalib. Sayap-sayapnya diatur sedemikian rupa sehingga dua terentang di atas kepalanya, dua lagi terbentang untuk terbang dan dua yang lain menutup seluruh tubuhnya. Fransiskus memandang dengan penuh ketakutan, sekaligus penuh kegembiraan, kedukaan dan kekaguman. Ia merasakan kegembiraan yang besar karena wajah Kristus tampak begitu biasa dan memandang kepadanya dengan ramah dan lembut. Dia terpaku pada salib. Ia merasakan kesedihan dan belarasa yang tak terhingga, mengagumi penglihatan yang amat menakjubkan dan tak didahului oleh apa pun itu dengan sadar sepenuh-penuhnya bahwa kelemahan sengsara tidak sepadan dengan tidak dapat matinya semangat serafik. Dalam keadaan demikian, diwahyukan kepadanya bahwa penglihatan ini diberikan kepadanya karena Allah menghendaki bahwa dia terjelma ke dalam keserupaan yang nyata dengan Kristus Tersalib, bukan dengan permartiran tubuhnya, melainkan dengan pengorbanan jiwanya. 

Selama penglihatan yang mengagumkan ini, seluruh Gunung La Verna bercahaya cerah. Cahaya itu menerangi semua bukit dan lembah-lembah di sekitarnya. Seakan-akan matahari telah terbit di atas bumi. Para gembala yang sedang mengawasi kawanannya di sekitar situ melihat gunung itu bernyala-nyala serta ditutup oleh terang-cahaya yang cerah gemilang, menjadi sangat gempar. Kemudian mereka mengatakan kepada saudara-saudara bahwa keadaan ini berlangsung selama satu jam. Demikian juga beberapa pengendara keledai yang sedang bepergian ke Romagna dibangunkan oleh cerahnya cahaya iini yang mengira bahwa matahari sudah terbit. Mereka memasang pelana dan menempatkan muatan-muatan pada hewan-hewan mereka. Ketika sudah di jalan, mereka melihat cahaya itu lenyap dan matahari yang sesungguhnya barulah terbit. 

Selama penglihatan serafim itu, Kristus tampak kepada Fransiskus dan mewahyukan kepadanya hal-hal yang agung dan rahasia yang tak pernah diungkapkannya kepada seorang pun selama masa hidupnya, tetapi menjelang wafatnya barulah ia mengungkapkannya. “Tahukah engkau, apa yang telah Kukerjakan padamu?” Aku memberikan kepadamu stigmata tanda kesempurnaan-Ku agar engkau menjadi patokan pengikut-Ku. Sebagaimana Aku turun ke tempat penantian pada hari wafat-Ku dan membebaskan semua jiwa dari sana berkat pahala stigmata-Ku, demikian pula Aku memberikannya setiap tahun pada peringatan kematianmu agar engkau mengunjungi api pencucian (purgatorio). Berkat kekuatan stigmata-mu, engkau akan membebaskan semua jiwa yang ada di sana, yang termasuk dalam ketiga ordomu – yaitu para saudara dina, suster-suster (Klaris/Ordo II) dan para peniten/pentobat – juga semua yang mempunyai devosi besar kepadamu; dan engkau akan menghantarkan mereka kepada kebahagiaan firdaus. Dengan cara ini, engkau akan diserupakan dengan Aku dalam wafat-Kuu sebagaimana yang telah terjadi selama hidupmu.” 

Sesudah pembicaraan rahasia yang lama, penglihatan ajaib ini lenyap dan meninggalkan di dalam hati Fransiskus nyala cintakasih ilahi yang berkobar-kobar, dan di dalam tubuhnya suatu gambaran yang mengagumkan serta suatu rekaman sengsara Kristus. Pada tangan dan kaki Fransiskus langsung mulai tampak bekas-bekas paku seperti yang dilihatnya pada tubuh Yesus Yang Tersalib, yang telah menampakkan diri kepadanya dalam bentuk seorang serafim. Tangan dan kakinya tampak tertembus di tengah-tengahnya oleh paku. Kepala paku itu berada dalam telapak tangan serta tapak kakinya, menembus keluar dagingnya. Ujung-ujung paku itu keluar pada punggung tangan dan kakinya. Tampaknysa dibengkokkan ke belakang dan dilingkarkan sedemikian sehingga orang dapat dengan mudah memasukkan jarinya melalui lingkaran di luar daging, seolah dalam sebuah cincin. Kepala paku-paku itu bulat dan hitam. Demikian pula pada sisi kanannya timbul luka tikaman yang tak tersembuhkan, merah dan berdarah. Dari luka itu mengalirlah darah dari hati suci Fransiskus, menodai jubah dan pakaian dalamnya. 

Sebelum sahabat-sahabatnya mengetahui tentang hal itu, mereka hanya mengetahui bahwa dia tidak membuka tangan dan kakinya dan bahwa kakinya tidak dapat menginjak tanah. Mereka melihat bahwa jubah dan pakaian dalamnya berbekas darah ketika mereka mencucinya. Maka tahulah mereka bahwa ia membawa Kristus Tersalib yang tertera pada tangan, kaki serta sisinya. Walaupun ia berusaha  sungguh-sungguh untuk menutupi dan menyembunyikanm stigmata suci ini, yang begitu jelas tertera pada tubuhnya, ia yakin  bahwa ia hampir tidak dapat melakukan itu terhadap sahabat-sahabat karibnya; kendati ia  takut untuk mengungkapkan rahasia Allah. Ia berada dalam kebingungan besar apakah ia harus atau tidak mengungkapkan penglihatan serafim dan terteranya stigmata pada dirinya. Akhirnya di bawah tekanan suara hatinya, ia memanggil beberapa saudaranya yang paling intim dengan dia dan mengemukakan keraguannya secara umum tanpa mengungkapkan kenyataannya. Ia meminta nasihat mereka, apakah yang seharusnya dikerjakannya. Di antara saudara ini, ada seorang yang amat suci, yang bernama Illuminato. Sdr. Illuminato mengerti bahwa Fransiskus pasti telah melihat sesuatu yang ajaib. Maka jawabnya, “Fransiskus, ingatlah bahwa Allah sudah beberapa kali mengungkapkan rahasia-Nya kepadamu, tidak hanya untuk keuntunganmu saja, tetapi juga untuk orang lain. Engkau kiranya pantas dicela bila menyembunyikan sesuatu yang telah dinyatakan (diwahyukan) kepadamu.” Fransiskus tergerak oleh kata-kata ini dan melaporkan seluruh keadaan dan sifat dari penglihatan itu dengan perasaaan dahsyat, sambil menambahkan bahwa Kristus telah menyampaikan kepadanya hal-hal tertentu yang tak dapat diungkapkan selama masih hidup. Luka tersuci ini, yang diterakan Kristus, amat menggembirakan hatinya sekaligus mendatangkan rasa sakit yang tidak tertahan. Karena itu, dipaksa oleh kebutuhan, ia memilih Sdr. Leo, yang paling sederhana dan murni, dan menceritakan segala sesuatu kepadanya. Ia memperbolehkannya untuk menyentuh dan membalut luka-luka suci dengan perban agar mengurangi rasa sakitnya dan menahan darah yang mengalir. Pada saat ia merasa sakit, ia mengizinkan untuk mengganti perban lebih sering, kadang-kadang setiap hari, selain antara Kamis sore dan Sabtu pagi. Selama waktu itu, ia tidak menghendaki bahwa penderitaan sengsar Kristus, yang dideritanya di dalam tubuhnya sendiri diperingan oleh suatu obat manusia karena pada waktu itu Tuhan dan Juruselamat kita telah disalibkan, wafat dan dimakamkan demi kita. Suatu waktu, ketika Sdr. Leo sedang mengganti perban dari luka di sisinya, darah itu diambil – meletakkan tangannya pada dada Sdr. Leo. Atas sentuhan tangan yang suci ini, Sdr. Leo merasakan kemanisan dalam hatinya sehingga dia hampir-hampir jatuh terkulai di tanah. 

Fransiskus mengakhiri puasa Santo Mikael Malaikat Agung dan bersiap-siap kembali ke Santa Maria Para Malaikat (Portiuncula). Ia memanggil Sdr. Masseo dan Sdr. Angelo. Ia berbicara lama dengan mereka dan memberi nasihat suci. Lalu ia menyerahkan gunung suci itu kepada mereka agar dipelihara dengan sungguh-sungguh. Ia mengatakan kepada mereka bahwa perlu baginya untuk kembali ke Santa Maria Para Malaikat bersama Sdr. Leo. Setelah itu ia meninggalkan mereka dan memberkati mereka, mengulurkan tangan-tangannya yang suci itu, yang dihiasi dengan stigmata yang mulia sehingga mereka dapat melihat, menyentuh dan menciumnya. Ia meninggalkan mereka dan menuruni gunung suci itu. 

Untuk direnungkan secara pribadi: Dengan menaruh contoh yang diberikan oleh Bapak kita yang suci Santo Fransiskus dalam hati dan pikiran kita, renungkanlah efek apa yang terjadi atas diri kita apabila kita memandang Kristus Tersalib secara serius dan dengan penuh konsentrasi/fokus dalam waktu yang cukup lama. Efeknya atas diri Fransiskus adalah bahwa hal tersebut memimpinnya untuk melakukan pelayanan kepada Allah dan kepada pertobatan (tadinya hanya urusan dunia saja). Demikianlah kiranya dengan kita, tatapan mata kita  yang terpusat kepada Sang Tersalib seharusnya membuat hati kita yang tadinya senang dengan hal-hal duniawi diubah menjadi penuh dengan rasa sedih untuk segala dosa kita. Untuk alasan apa sampai Yesus Kristus dipaku pada kayu salib dan seluruh tubuh-Nya penuh luka-luka? Seorang nabi bernubuat: “Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita” (Yes 53:5). Meditasi atas penderitaan-penderitaan Kristus telah menyebabkan Santo Fransiskus terus mencucurkan air mata sebegitu rupa sehingga membuat matanya ‘bengep’. Apakah Saudari/saudari juga berlutut di hadapan Yesus yang tersalib dan menangisi dosa-dosa yang telah turut memaku Sang Penebus pada kayu salib? 

Catatan: Ketika menjawab sms selamat pesta Stigmata Bapak Fransiskus ini dari saya, seorang saudari OFS (seorang minister persaudaraan lokal) membalas dengan sms, a.l. berbunyi seperti ini: “membayangkan stigmata Bapa kita Santo Fransiskus terasa diri ini kecil banget dan sangat-sangat berdosa”. Yang berikut ini dari seorang bruder Saudara Dina: “Fransiskus menderita kesakitan karena menerima lima luka Yesus. Kita, Fransiskan, pesta karenanya. Gimana ya?

 Saudari dan Saudaraku, selamat Pesta ya. Tapi bukan dalam arti pesta yang hura-hura, ya! 

Sumber tulisan: Legenda Perugia (dari Omnibus); Fioretti (edisi bahasa Indonesia terbitan SEKAFI dan juga edisi dalam bahasa Inggris terjemahan oleh Raphael Brown, SFO); Marion A. Habig, THE FRANCISCAN BOOK OF SAINTS; Lombardi OFM, INTRODUCTION TO THE STUDY OF FRANCISCANISM.

Cilandak, 17 September 2010 [Pesta Stigmata Bapak kita Fransiskus] 

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS