Archive for June 8th, 2012

JANDA INI MEMBERI DARI KEKURANGANNYA

JANDA INI MEMBERI DARI KEKURANGANNYA

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa IX – Sabtu,  9 Juni 2012) 

Dalam pengajaran-Nya Yesus berkata, “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar, yang suka duduk di tempat yang terbaik di rumah ibadat dan di tempat terhormat dalam perjamuan, yang menelan rumah janda-janda dan mereka mengelabui mata orang dengan mengucapkan doa yang panjang-panjang. Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.”

Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua uang tembaga, yaitu uang receh terkecil. Yesus memanggil murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya semua yang dimilikinya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Mrk 12:38-44)

Bacaan Pertama: 2Tim 4:1-8; Mazmur Tanggapan: Mzm 71:8-9,14-17,22 

Pada suatu kali Yesus dan para murid-Nya duduk-duduk di Bait Allah di dekat kotak kolekte sambil memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam kotak kolekte tersebut. Datanglah banyak orang kaya memberi persembahan dalam jumlah besar. Mungkin ada dari orang-orang kaya itu mengangkat tangannya tinggi –tinggi sebelum memasukkan uang peraknya ke dalam kotak kolekte tersebut, tentunya agar orang-orang lain dapat melihatnya dan mendengar gemerincing uang logam persembahannya.

Kemudian, tanpa banyak ribut-ribut, datanglah seorang janda miskin. Dia mencoba memberikan uang persembahannya secara sembunyi-sembunyi karena dia hampir tidak mempunyai apa-apa lagi untuk diberikan. Ia memasukkan dua keping uang tembaga dengan perlahan-lahan. Semua tindakan janda miskin itu tidak luput dari perhatian Yesus, dan Ia ingin agar para murid-Nya untuk memperhatikan apa yang dilakukan oleh janda miskin itu. Yesus memanggil para murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya semua yang dimilikinya, yaitu seluruh nafkahnya” (Mrk 12:43-44). Janda itu memberikan kekurangannya … dari kemiskinannya, segalanya yang dibutuhkan olehnya untuk hidup! Sebaliknya orang-orang kaya itu memberi dari kelimpahannya, sedangkan si janda memberikan uang-uang logam terakhir yang dimilikinya. Inilah cintakasih: hakikat atau jiwa dari tindakan memberi.

“Memberi sampai sakit” dilakukan oleh orang-orang miskin, bukan orang-orang kaya. Memang hal ini adalah kenyataan hidup yang menyedihkan yang ada pada segala zaman dalam sejarah manusia. Seandainya saja orang-orang yang kaya memiliki kemurahan-hati seperti orang-orang miskin, maka tidak akan ada seorang pun yang berkekurangan. Dengan demikian, tidak mengherankanlah apabila Yesus seringkali berbicara dengan kata-kata keras tentang bahayanya kekayaan (lihat misalnya Mrk 10:23-27). Yesus memiliki preferensi terhadap orang-orang miskin dan Ia sendiri pun memilih menjadi orang miskin. Ini adalah sebuah tanda kemurahan-hati-Nya yang tanpa batas.

Yesus tidak menentang atau mengutuk orang-orang yang memiliki harta-kekayaan lebih daripada orang kebanyakan. Namun Ia memperingatkan mereka dengan serius tentang keserakahan, ketamakan, sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri. Kita tentunya familiar dengan perumpamaan-perumpamaan Yesus tentang “Orang kaya dan Lazarus”, juga tentang orang kaya-bodoh yang membangun tempat menyimpan gandumnya, lalu mati (). Di mata Yesus, kepemilikan harta-kekayaan tanpa diiringi dengan kemauan untuk berbagi dengan orang lain adalah suatu kejahatan.

Ingatlah, bahwa mayoritas dari para pengikut Kristus adalah orang-orang miskin, karena mereka lebih mau untuk mendengarkan Dia. Orang-orang kaya merasa takut bahwa mereka kehilangan kuasa dan pengaruh apabila mereka mengikuti contoh yang diberikan Yesus. Hal ini berarti bahwa mereka tidak mau menaruh kepercayaan kepada Allah. Mereka lebih suka menaruh kepercayaan pada kekuasaan dan kekayaan.

Mengasihi senantiasa berarti memberi diri kita, bukan memberikan sesuatu yang tidak berarti bagi diri kita sendiri. Mengasihi berarti memberikan sesuatu dari diri kita sendiri: perhatian dan keprihatinan kita, waktu kita, talenta kita, keterampilan kita, minat dalam kebutuhan-kebutuhan orang-orang lain.

DOA: Tuhan Yesus,  kami semua miskin di hadapan-Mu. Mengapa kami harus takut untuk berbagi dengan orang-orang lain, segala hal yang telah kami terima?  Apakah kami tidak menaruh kepercayaan kepada-Mu. Tidakkah kami yakin bahwa balasan dari-Mu selalu lebih besar daripada pemberian kami yang kecil? Tuhan, tolonglah kami. Amin.

Catatan: Untuk mendalami Bacaan Injil hari ini (Mrk 12:38-40), bacalah tulisan yang berjudul “PERSEMBAHAN JANDA YANG MISKIN” (bacaan tanggal 9-6-12) dalam situs/blog PAX ET BONUM https://catatanseorangofs.wordpress.com; kategori: 12-06 PERMENUNGGAN ALKITABIAH JUNI 2012.

Cilandak, 24 Mei 2012 

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

KALPATARU 2012, PATER SAMUEL DAN ‘RUMAH PELANGI’

KALPATARU 2012, PATER SAMUEL DAN ‘RUMAH PELANGI’  

Lahan seluas 90 hektare, yang terletak di Dusun Gunung Benuah, Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sei Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, itu awalnya lahan terlantar bekas kebakaran. Kini lahan berupa bukit dan rawa itu menghijau berkat kerja keras Pastor Samuel dan komunitasnya. “Ini merupakan bagian dari spiritualitas Fransiskan Kapusin, menyayangi alam sebagai tanda hormat dan bakti kita kepada Sang Pencipta,” kata Samuel. (“Kalpataru bagi Rumah Pelangi”, Koran TEMPO, Rabu, 6 Juni 2012, hal. A12) 

KAPALTARU 2012 

Penghargaan Kalpataru, Adipura, dan Adiwiyata setiap tahunnya diberikan bertepatan dengan HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA pada tanggal 5 Juni. Tema Hari Lingkungan Hidup tahun 2012 ini adalah GREEN ECONOMY: DOES IT INCLUDE YOU? Dalam konteks Indonesia artinya “Ekonomi Hijau: Ubah Perilaku, Tingkatkan Kualitas Lingkungan”.

Makna mendasar dari tema ini adalah urgensi seluruh umat manusia mengubah pola konsumsi dan produksi atau gaya hidup menuju perubahan perilaku yang berkelanjutan. Tema ini juga mengangkat United Nations Conference on Sustainable Development atau dikenal Rio+20 yang akan diselenggarakan pada pertengahan Juni mendatang di Brasil.

Kapaltaru diberikan untuk kategori Pembina Lingkungan, Perintis Lingkungan, Pengabdi Lingkungan, dan Penyelamat Lingkungan. Salah seorang penerima Kapaltaru 2012 untuk kategori Pembina Lingkungan adalah Pater Samuel Oton Sidin OFMCap. seorang imam Fransiskan Kapusin. Panitia Penghargaan menulis tentang imam ini: “Dia melakukan penanaman pada lahan kritis, melestarikan binatang asli Kalimantan dan berbagai jenis tumbuhan, serta penyuluhan lingkungan” (“Kalpataru bagi Rumah Pelangi”, Koran TEMPO, Rabu, 6 Juni 2012, hal. A12).

PATER SAMUEL OTON SIDIN, OFMCAP.

Pater Samuel Oton Sidin, OFM. Cap. lahir di Peranuk, Bengkayang, 12 Desember 1954. Pada tahun 1984, ia ditahbiskan menjadi imam dari Ordo Fransiskan-Kapusin. Setahun kemudian, ia berangkat ke Roma, Italia, untuk menempuh pendidikan doktorat di bidang spiritualitas Fransiskan. Pada tahun 1990, pendidikan untuk memperoleh gelar doktor dari Universitas Antonianum, Roma, diselesaikannya dengan disertasi berjudul: The Role of Creatures in Saint Francis’ Praising of God. Pakar “Fransiskanologi” ini terlibat lama dalam bidang pendidikan calon imam Kapusin di Parapat dan Pematangsiantar, Sumatera Utara. Kiprahnya dalam pelestarian alam merupakan salah satu wujud penghayatan teladan hidup Fransiskus dari Assisi (pendiri ordo fransiskan) yang terkenal sebagai pelindung ekologi.

Saya sendiri belum lama kenal dengan “pejuang lingkungan” ini. Pertama kali saya berkenalan secara pribadi dengan Pater Samuel adalah di dalam ruang Sakristi gereja Santo Stefanus, Cilandak, Jakarta Selatan ketika bersiap-siap untuk tugas pelayanan sebagai salah seorang prodiakon pada Misa Kudus pada sore/senja hari Sabtu tanggal 19 Mei 2012. Imam yang memberi kesan sebagai seorang pribadi sederhana itu bertugas melayani sebagai Imam Selebran pada kesempatan itu, secara bergiliran di Dekenat Selatan dalam rangka Novena Roh Kudus.

Ketika mengetahui bahwa beliau adalah seorang Kapusin, saya langsung memberi salam “Pace e Bene” (bahasa Italia yang kurang lebih berarti!” “Damai sejahtera dan segalanya Baik bagimu!”) dan mengatakan bahwa saya adalah seorang anggota OFS (ada seorang prodiakon lain yang anggota OFS untuk tugas hari itu). Beliau pun dengan ramah berkata: “Pace e Bene!” Saya cukup terharu menyaksikan beliau mengatakan kepada seorang prodiakon yang sedang berkenalan sambil menoleh kepada saya dan mengatakan: “Ini adalah saudara saya, seorang Fransiskan Sekular”. Baru setelah Misa Kudus usai, ketika saya minta e-mail address Pater Samuel, membaca nama ‘Oton Sidin’ yang ditulisnya sendiri, dan beliau mengatakan suka menulis di surat kabar, baru teringatlah saya bahwa saya sudah pernah membaca tulisan-tulisan beliau juga.

Dengan penuh syukur saya membaca berita di Harian TEMPO tentang penganugerahan Kalpataru oleh Presiden R.I. kepada beliau, yang adalah saudara saya. Saya lihat di harian KOMPAS hari/tanggal sama, berita tentang peristiwa itu sangatlah singkat apabila dibandingkan dengan berita tentang Romo Carolus sebelumnya.

LATAR BELAKANG PENDIRIAN “RUMAH PELANGI”

Pembalakan liar dan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat telah merambah kawasan tangkapan air. Bencana kekeringan dan kekurangan air bersih saat kemarau serta banjir saat musim hujan menjadi ancaman serius setiap tahun. Ordo Fransiskan Kapusin yang berkarya di daerah tersebut, yang khawatir akan ketersediaan air bersih bagi masyarakat, mulai menggagas gerakan sosial untuk menyelamatkan sebuah kawasan yang langsung terkait dengan masyarakat. Pada tahun 1998, kegiatan pembalakan liar dan ekspansi perkebunan kelapa sawit mulai marak. Pada waktu itu Ordo Fransiskan Kapusin Provinsi Pontianak dipimpin Pater Samuel Oton Sidin, OFM Cap. [1997-2003]. Catatan: Pater Samuel terpilih kembali menjadi Minister Provinsial  untuk periode 2009-2012.

Para Fransiskan Kapusin ini menilai bahwa sebuah bukit di Teluk Bakung, yang kemudian dikenal dengan nama Bukit Tunggal masih mungkin diselamatkan. Dengan demikian para Fransiskan Kapusin itu berencana untuk menghutankan kembali Bukit Tunggal secara swadaya. Dengan biaya dari ordo, Pater Samuel mulai membeli lahan di Bukit Tunggal sedikit demi sedikit dari warga setempat. Tempat ini sekarang dikenal sebagai ‘Rumah Pelangi’, sebuah kawasan konservasi hutan dan lahan seluas 90 hektar di Dusun Gunung Benuah, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Kawasan ini berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Pontianak ke arah Tayan.

Ketika Pater Samuel membeli kawasan di hamparan seluas 70 hektar pada tahun 2000, sebagian besar lahan di perbukitan dan rawa-rawa itu merupakan lahan yang rusak. Sisi utara dan selatan area tersebut banyak yang terbakar, sementara di sebelah barat nyaris tanpa pohon karena sudah ditebang. Keanekaragaman hayati sebagai kekayaan alam yang tersimpan di bumi khatulistiwa, turut lenyap dengan musnahnya hutan. Sedikit demi sedikit, kawasan yang rusak itu direhabilitasi. Secara bertahap, area lahan lain seluas 20 hektar juga dibeli sehingga kawasan konservasi bertambah luas.

Pada tahun 2003, lahan yang dibeli  para Fransiskan Kapusin itu telah mencapai beberapa puluh hektar. Mulailah Pater Samuel dan beberapa anggota Kapusin menanami lahan itu sambil terus membeli lahan di sekitarnya. Sebuah rumah yang diberi nama ‘Rumah Pelangi’ didirikan di sana sebagai tempat tinggal beberapa anggota komunitas. ‘Rumah Pelangi’ juga menjadi tempat singgah masyarakat yang ingin mengunjungi Bukit Tunggal.

Walaupun sedang melayani sebagai Minister Provinsial OFM Kapusin Pontianak dengan wilayah kerja Pulau Kalimantan, KAJ dan sebagian Sulawesi hingga 2011 lalu, Pater Samuel tetap turun langsung dalam upaya penghijauan Bukit Tunggal. Sejak dari pembenihan bibit hingga penanaman, Pater Samuel terlibat langsung, tentu di sela-sela tugasnya sebagai pimpinan. 

RUMAH PELANGI 

Soal Nama. Nama ‘Rumah Pelangi’ terinspirasi dari kisah Nabi Nuh dalam Kitab Suci (Kej 6:9-9:28). Setelah 40 hari 40 malam banjir raya menimpa manusia, muncul pelangi di cakrawala. Menurut Pater Samuel, pelangi adalah tanda perdamaian dengan semua; damai dengan alam, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Ia berharap, kehadiran konservasi Rumah Pelangi bisa menjadi seruan bagi kita semua untuk mewujudkan perdamaian dengan alam seperti tersirat dalam simbol pelangi.

Rumah Pelangi dirintis oleh Pater Samuel pada tahun 2003.  Kendati luas konservasi sangat kecil dibandingkan dengan luas lahan kritis yang ada, apa yang dilakukan ‘Rumah Pelangi’ merupakan seruan etis kepada khalayak ramai untuk memulai suatu habitus (paradigma) baru yang lebih bersahabat dan ramah terhadap alam. Selama ini wacana pelestarian lingkungan hanya tinggal wacana lip service tanpa tindakan nyata. Berbagai seminar tentang “Global Warming” terselenggara tanpa tindak lanjut yang jelas. Dengan prinsip “mulai dari diri sendiri”, Pater Samuel merealisasi kecintaan dan hormatnya terhadap alam melalui proyek ‘Rumah Pelangi’ ini.   Action ‘Rumah Pelangi’ yang “kecil” lebih bernilai daripada berbagai gagasan dan statement ekologis yang hanya tinggal jargon semata. “Magnum in parvo”: bernilai besar dalam hal-hal kecil. Itulah yang dilakukan ‘Rumah Pelangi’.

Kawasan konservasi sekaligus tempat pembelajaran masyarakat. Selain menjadi kawasan konservasi, ‘Rumah Pelangi’ juga mendidik masyarakat bagaimana mengolah lahan yang baik, mengembangkan bibit tanaman, dan mengembangkan usaha produktif dari bercocok tanam. Salah satu metode yang dikembangkan adalah membuat percontohan saluran irigasi dan sawah serta pelestarian mata air. Pater Samuel membuat sebuah bendungan kecil untuk mengaliri sawah sekitar satu hektare. Selain menjadi sumber air bagi ‘Rumah Pelangi’, bendungan itu juga turut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat sekitar.

Dalam upaya penyadaran dan pembelajaran terhadap masyarakat sekitar, Pater Samuel memakai prinsip inside-out. Kesadaran harus ditumbuhkan dari dalam. Ia mengkampanyekan pelestarian alam bukan dengan menyalahkan atau melarang masyarakat sekitar yang kebanyakan menebang pohon demi asap dapur. Ia menggugah kesadaran dan rasa hormat terhadap alam melalui contoh teladan dan pendekatan persuasif.

Upaya konservasi ‘Rumah Pelangi’ dilakukan dengan menanam kembali tanaman asli Kalimantan. Ratusan jenis tanaman buah dan pepohonan asli Kalimantan dikembangkan di kawasan itu. Dapat disebut antara lain pohon asam (18 jenis), bambu (15 jenis), pohon keras (14 jenis, misalnya belian, tapang, sengaon, gaharu), dan berbagai jenis buah-buahan seperti rambutan, mangga, langsat, jambu, nangka, dan durian. Sejumlah bunga juga ditemukan seperti pelbagai jenis anggrek dan kantung semar. Rumah Pelangi juga menangkar hewan landak yang makin langka.

Hal yang menarik untuk diketahui adalah Pater Samuel memberi perhatian khusus untuk tanaman alam (hutan) yang tidak memberikan nilai ekonomis. Menurutnya, masyarakat cenderung memusnahkannya dan menggantikannya dengan tanaman yang laku di pasar. Pertimbangan masyarakat tentu bisa dimaklumi. Pater Samuel justru melestarikannya agar generasi-generasi mendatang tidak hanya sekedar mendengar cerita, melainkan masih dapat melihatnya. Berbagai tanaman langka itu antara lain mangga hutan, asam bawang, bacang, rambutan hutan, kandis, dan gandaria.

Seorang anak rohani Bapak Fransiskus. Sdr. Lianto dari “Duta” sempat melakukan wawancara dengan Pater Samuel, sang “Pendekar dari Gunung Benuah” itu pada tahun 2010 atau 2009, dan bertanya kepada Pater Samuel tentang gagasan apa yang ada di balik ‘Rumah Pelangi’. Pater Samuel menjawab: “Keberadaan ‘Rumah Pelangi’ tidak terlepas dari upaya untuk ikut secara nyata melestarikan lingkungan hidup. Ada banyak dasar untuk melakukan hal tersebut. Pertama, sebagai bagian dari kemanusiaan atau masyarakat manusia, bumi adalah satu-satunya tempat tinggal manusia. Siapa pun dia, punya tanggung jawab untuk memelihara ‘rumah’ tempat tinggalnya ini. Kedua, sebagai orang beriman, kita menerima warta Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Kejadian 21:8; Allah memberi ‘kuasa’ kepada manusia atas segala makhluk. Dalam perintah itu terkandung suatu tanggung-jawab pemanfaatan, pengelolaan, dan pelestarian alam seturut kehendak Allah. Selanjutnya, dalam kaitan dengan penebusan [Perjanjian Baru], manusia beserta seluruh alam ditebus: menjadi manusia dan alam baru. Seharusnya dengan itu, manusia dengan ‘rumah’-nya kembali pada posisi dan kondisi firdaus di mana mereka hidup dalam harmoni. Ketiga, sebagai Fansiskan, beliau dan komunitasnya mengikuti spiritualitas Santo Fransiskus dari Assisi. Semua Fransiskan dipanggil mencintai dan menyayangi alam. Bumi dengan segala isinya adalah buah karya Allah. Hormat dan cinta akan Allah tercermin dalam hormat dan cinta akan hasil karya-Nya. Keempat, Pater Samuel dan komunitasnya mencoba menyimak kehidupan aktual kita. Kita berada pada saat bumi mengalami pemanasan global akibat berbagai ulah manusia. Pada kenyataannya, bumi, rumah kita telah rusak. Sekecil apa pun upaya perbaikan dan pemeliharaan yang kita lakukan, sudah punya arti. Karya riil memang lebih bernilai daripada hanya wacana. Nah, dengan ‘Rumah Pelangi’, diharapkan Kapusin bisa tinggal menyatu dengan alam dalam upaya mewujudnyatakan hal-hal yang saya sebutkan tadi.

Konkretisasi gagasan. Ketika ditanyakan bagaimana gagasan itu direalisasikan secara konkret, Pater Samuel menjawab: “Pertama, kita tinggal dalam hutan. Kedua, kita melindungi hutan yang masih ada. Ketiga, kita menanam pohon-pohon, terutama pohon buah-buahan dan pohon-pohon khas Kalimantan agar berbagai jenisnya dapat dilestarikan. Keempat, kita mendirikan pusat pendidikan ekologis. Di ‘Rumah Pelangi’ kita punya gedung pertemuan sederhana. Ada camping ground, tempat orang dengan leluasa menyatu dengan alam. Kita juga buat program pendidikan informal melalui rekoleksi, konferensi singkat, atau retret ekologis. Kelima, kelak kita akan menjandikan “Rumah Pelangi” sebagai tempat wisata rohani dan ekologis”.

Reaksi masyarakat. Menjawab pertanyaan mengenai reaksi atau respons masyarakat sekitar apa yang dilakukannya di ‘Rumah Pelangi’, Pater Samuel menjawab: “Masyarakat setempat masih sederhana. Pemahaman akan ekologi juga terbatas. Sebagian mendukung dan ambil bagian aktif melestarikan alam, sebagian lagi acuh tak acuh”.  Dengan dianugerahinya Kalpataru kepada Pater Samuel dengan ‘Rumah Pelangi’-nya, kita semua mengharapkan tentunya sikap acuh tak acuh yang disebutkan tadi akan berangsur-angsur hilang.

Kesulitan dan Tantangan. Dari wawancara yang sama, kita dapat melihat bahwa dalam melakukan konservasinya, Pater Samuel menghadapi tidak sedikit kesulitan dan tantangan. Pertama, berhadapan dengan para penebang pohon: pohon-pohon di lahan kita pernah ditebang oleh orang luar. Pater Samuel coba mendatangi yang bersangkutan dan memberikan pemahaman agar tidak meneruskan kegiatannya di lahan ‘Rumah Pelangi’. Di luar lahan ‘Rumah Pelangi’, penebangan jalan terus, termasuk pengambilan cerucuk. Kedua, kesulitan keuangan. ‘Rumah Pelangi’ tidak mendapat bantuan finansial dari mana pun., namun mencoba jalan terus semampunya. Ketiga, sikap acuh tak acuh masyarakat. Sebagian besar masyarakat belum menangkap makna pelestarian lingkungan hidup. Hal itu terbukti dari penebangan yang tiada hentinya, termasuk penjualan tanah, eksploitasi tambang yang merusak alam, pembukaan lahan hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit yang merambah hutan resapan air. Keempat, sikap yang kurang proaktif dari pemerintah, baik propinsi maupun kabupaten, sehingga Pater Samuel dan para saudaranya merasa seperti berjalan sendiri saja. Semoga banyak perbaikan telah terjadi sejak wawancaras beberapa tahun lalu itu.

CATATAN PENUTUP 

Ada tiga hal yang membanggakan dan menyemangati hati saya sebagai seorang Kristiani Indonesia, khususnya dalam dua pekan terakhir ini: Pertama, penganugerahan Maarif Award 2012 dari Maarif Institute kepada Romo Carolus (Pater Charles Patrick Edward Burrows OMI) pada hari Sabtu tanggal 26 Mei 2012. Kedua, yang saya kedepankan dalam tulisan ini, yaitu penganugerahan Kalpataru 2012 kepada Pater Samuel Oton Sidin OFMCap. pada hari Selasa tanggal 5 Juni 2012. Ketiga, tentunya film SOEGIJA yang saya tonton bersama begitu banyak umat di Studio 21 Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, kemarin 7 Juni 2012.

Walaupun kekudusan pribadi adalah tujuan seorang Kristiani, dia tidak boleh hanya suci-suci sendiri secara terisolasi, melainkan harus hidup juga dengan saudari-saudara lainnya sebagai seorang anggota Tubuh Kristus dengan kepedulian yang serius. Dengan penuh kepedulian pula dia harus melangkah keluar dari komunitas Kristianinya untuk berinteraksi dengan saudari-saudara lainnya dalam masyarakat, sebagai garam bumi dan terang dunia, membawa kasih Kristus ke tengah dunia dan memperbaiki dunia itu, sebuah dunia yang adalah “rumah” kita semua. “Tuhan telah memberikan alam kepada umat manusia. Alam itu rumah kita. Kalau tidak bisa memeliharanya, maka rumah itu akan rusak,” kata Pater Samuel Oton Sidin, OFMCap.

Teguh Imam Wibowo mencatat pada tanggal 20 Mei 2007, bahwa luas lahan kritis di Kalimantan Barat pada saat itu mencapai lima juta hektar atau lebih dari sepertiga total wilayah  Kalimantan Barat. Seandainya seluruh lahan kritis itu dikonversi menjadi lapangan sepakbola, akan ada lebih dari 6 juta lapangan sepakbola baru ukuran standar internasional. “Mungkin akan dihasilkan ribuan pesepakbola handal di Tanah Air, kata Pater Samuel.

Bagi Pater Samuel, lahan kritis yang tersebar di bekas pembalakan liar dan penambangan emas tanpa izin itu, bukan hal yang dapat diabaikan. Upaya konservasi menjadi mutlah demi kehidupan anak-cucu yang lebih baik. Secara pribadi imam Fransiskan Kapusin ini merasa sangat tersiksa melihat kerusakan lahan dan hutan yang terjadi di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, dengan sekuat tenaga beliau melakukan konservasi, walaupun bagaikan setitik dalam luasan lahan yang rusak.

Sumber Tulisan:

  1. Untung Widyanto, “Kalpataru bagi Rumah Pelangi” , Koran TEMPO, Rabu, 6 Juni 2012.
  2. Lianto Limbong dari ‘Dian’, “Pastor Doktor Samuel Oton Sidin – Bentara Ekologi Rumah Pelangi”, blog Clara et Distincta, posting tanggal 19 Januari 2010.
  3. Lianto Limbong dari ‘Dian’, “Berdamai dengan Alam”, blog Clara et Distincta, posting tanggal 19 Januari 2010.
  4. Teguh Imam Wibowo, “Konservasi dari Rumah Pelangi”, antaranews.com 20 Mei 2007.
  5. Agustinus Handoko, “Menghindarkan Masyarakat dari Bencana”, Kompasiana, 11 Mei 2012.

Jakarta, 8 Juni 2012

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS